WAKTU muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Haduh…! ..Tapi begitulah sebagian kita berpikiran. Lalu ada pula yang mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda.
Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga [?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.
Banyak alasan yang mendorong seorang muslim aktif dalam beramal, diantaranya yang terdapat dalam firman Allah Swt .“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2). Kesadaran bahwa Allah Swt. menciptakan kehidupan di dunia sebagai ujian untuk melihat siapa yang terbaik kontribusinya, menjadi pendorong yang sangat efektif bagi seorang muslim agar selalu aktif menghadirkan prestasi dalam kehidupannya.
Rasulullah Saw. bahkan selalu mendorong umatnya untuk terus-menerus semangat melakukan beragam keshalihan. Seperti yang terdapat dalam hadist riwayat Ahmad dan Al bazzar disebutkan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah Saw. dan bertanya, “Ya Rasulullah, si fulan shalat malam tapi dia mencuri di waktu siang.” Rasulullah saw menjawab, “Shalat malamnya akan menghalanginya melakukan apa yang engkau katakan.” Tak lama kemudian orang yang disebutkan itu berhenti mencuri.
Beramal shalih akan selalu menjadi kebaikan pada akhirnya. Kebaikan akan menghapuskan keburukkan, menghancurkan kezaliman, membuka ruang hadirnya positivisme dalam kehidupan manusia. Beramal shalih bagi seorang muslim tentu saja memiliki syarat yang harus di penuhi agar bernilai di sisi Allah Swt. Ia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW masuk ke rumah Aisyah ra, waktu itu ada seorang perempuan dan beliau bertanya: “Siapakah dia?” Aisyah menjawab: “Ini adalah si Fulanah yang terkenal shalatnya.” Nabi SAW bersabda: “Wahai Fulanah, beramallah sesuai kemampuanmu.
Demi Allah, Dia tidak akan jemu untuk menerima amalmu, sehingga kamu sendirilah yang merasa jemu. Sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus (konsisten) walaupun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bulan Ramadhan 1443 H telah berlalu. Bulan yang penuh dengan keberkahan itu telah pergi meninggalkan kita. Bulan yang di dalamnya memberikan banyak pahala yang berlipat ganda, bulan yang ketika do’a dimohonkan segera akan diijabah dan bulan yang Allah janjikan dosa-dosa orang-orang beriman akan diampuni, kini telah kembali ke tempatnya.
Beramal Shalih Tidak Sebentar Saja
Lalu, apakah dengan berakhirnya Ramadhan maka berakhir pula aktivitas amal dan ibadah yang kita lakukan? Apakah ibadah dan menjauhi dosa serta mohon ampun hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja? Tentu saja tidak demikian, karena aktivitas ibadah itu dilakukan sepanjang hayat dikandung badan. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Dan beribadahlah kepada Tuhanmu, sampai ajal datang kepadamu” (QS. Al-Hijr : 99).
Sejalan dengan firman Allah tersebut, maka walau Ramadhan 1434 H telah berlalu, aktivitas. ibadah tetaplah berjalan. Karena bagaimana pun Ramadhan adalah sebagai sarana pendidikan dan pelatihan untuk menempah jiwa orang mukmin agar tetap punya semangat untuk mengabdi kepada Allah SWT sepanjang waktu.
Sebagai ajang pembuktian bahwa Ramadhan yang lalu telah berhasil menjadikan orang-orang yang beriman menjadi orang yang bertaqwa, maka sejak tanggal 1 Syawwal nilai-nilai Ramadhan 1434 H harus tetap dijaga. Ibadah-ibadah yang telah kita lakukan pada Ramadhan yang lalu, harus terus dilestarikan di sebelas bulan ke depan. Selain dari puasa yang wajib, ibadah-ibadah lainnya yang selama Ramadhan kita lakukan tetap dapat kita laksanakan setelah Ramadhan berlalu. Artinya, ketika Ramadhan berlalu, maka tidak seharusnya ibadah-ibadah yang secara rutin kita kerjakan di bulan Ramadhan itu ikut juga terhenti.
Beberapa ibadah tersebut seperti, puasa yang di dalam bulan Ramadhan hukumnya wajib, tetap dapat kita lakukan di luar Ramadhan walaupun hukumnya sunnah. Contohnya, di bulan Syawwal sejak tanggal 2 Syawwal kita dianjurkan untuk berpuasa sunnah 6 hari bulan Syawwal, puasa sunnah Senin dan Kamis, puasa sunnah setiap bulan di pertengahan bulan Hijriyah tanggal 13, 14 dan 15, puasa sunnah Nabi Dawud dimana sehari puasa sehari berbuka, puasa sunnah hari asyura mulai tanggal 9 dan 10 Muharram dan puasa sunnah bulan Sya’ban. Dengan cara demikian itu, seolah-seolah kita puasa sepanjang tahun sampai ketemu puasa Ramadhan tahun berikutnya.
Kemudian, shalat Tarawih yang selama sebulan Ramadhan kita kerjakan, maka diluar Ramadhan sejak malam tanggal 1 Syawwal diganti dengan mengerjakan shalat malam (tahajjud). Begitu juga dengan membaca Al-Qur’an yang selama bulan Ramadhan rutin kita laksanakan sampai khatam (tamat) dibaca berkali-kalai, setelah Ramaadhan berlalu tetap rutin dapat kita lakukan. Demikian pula dengan amalan ibadah lainnya, seperti shadaqah, berdzikir, istighfar, membaca shalawat tetap dapat terus dilestarikan sepanjang tahun sampai ketemu lagi dengan Ramadhan tahun berikutnya.
Inilah ibadah yang sangat disenangi Allah Swt., yaitu amalan yang terus menerus dilakukan seseorang sepanjang hidupnya. Bukannya ibadah yang dilakukan hanya waktu-waktu tertentu yang apabila waktu itu berlalu maka ibadah ikut pula terhenti.
Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia. Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)
Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadist ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadist ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadist ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin). Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,:“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)
Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Tuamu
Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu – [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,- [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,- 4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,-[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadist ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir).
Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.” Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.” Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatkanlah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.” Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: ”Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.” Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”
Al Munawi mengatakan, “Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” ( Rumaisyo.com yang mengutip – At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356).
Penulis: Bangun Lubis