Istri: Sahabat Jiwa dalam Perjalanan Hidup

Oleh: Bangun Lubis
Dalam Islam, istri bukan hanya partner hidup, tapi juga qarinah, yaitu pasangan yang menyatu dalam batin dan tujuan. Ketika Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)
Itu bukan hanya bicara soal cinta romantik, tapi juga tentang persahabatan jiwa. Sebab dalam perjalanan kehidupan—yang kadang berat, kadang membahagiakan—istri adalah satu-satunya orang yang tidak hanya berjalan bersamamu, tapi juga merasakan jalan yang sama dari dalam hatinya.
Istri bukan sekadar teman sekamar. Ia adalah teman seperjalanan menuju surga, seseorang yang—ketika kita jatuh—bukan hanya mengulurkan tangan, tapi ikut duduk di samping kita, menyeka debu di wajah, dan berkata: “Kita bisa bangkit lagi, bersama.”
Apa pun bentuk perjalanan itu—membangun keluarga, mencari nafkah, melewati ujian, atau menyusuri usia senja—istri yang shalihah adalah hadiah yang luar biasa dari Allah, tempat suami bisa menaruh kelelahan tanpa rasa takut dihakimi.
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Jika ibu adalah cinta yang melahirkan kehidupan, maka istri adalah cinta yang menemani kehidupan itu berjalan. Ia bukan hanya teman tidur dan penata rumah. Ia adalah belahan jiwa—separuh napas yang melengkapi, separuh doa yang menyempurnakan langkah menuju ridha Allah.
Dalam Islam, istri bukan bawahan, bukan pelayan, dan bukan boneka. Ia adalah mitra dalam hidup, sahabat dalam ibadah, dan tempat bersandar di kala dunia terasa berat. Rasulullah ﷺ menempatkan para istrinya bukan di belakang, tapi di samping. Bahkan dalam lembutnya cinta, beliau berkata tentang Khadijah: “Dia beriman kepadaku ketika orang lain mendustakan, dia menolongku dengan hartanya ketika yang lain memalingkan wajah. Dan darinyalah aku mendapatkan anak.”
Betapa agung posisi seorang istri di hati Rasulullah. Ia tidak hanya dicintai karena fisik, tapi karena keteguhan, kelembutan, dan setia yang tak terbantahkan.
Menikah Bukan Hanya Menyatukan Fisik, Tapi Menyatukan Takdir
Pernikahan dalam Islam bukan sekadar akad di hadapan penghulu. Ia adalah perjanjian agung (mitsaqan ghaliza)—ikatan yang disaksikan langit. Dari situlah dua insan yang berbeda belajar menjadi satu. Mereka berbagi rezeki, ujian, dan sujud. Mereka bertumbuh bersama, bukan saling menuntut untuk menjadi sempurna.
Seorang istri bisa menjadi surga di dunia. Ia yang membangunkan suaminya untuk tahajud, menyeka peluhnya saat pulang kerja, dan tetap tersenyum ketika dunia sedang tidak ramah. Ia juga bisa menjadi mujahidah dalam sunyi, yang menjaga rumah saat suaminya menuntut ilmu atau mencari nafkah.
Dan bagi suami yang memuliakan istrinya, Rasulullah ﷺ menjanjikan kedudukan mulia:
“Orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya. Dan aku adalah yang paling baik kepada istriku.” (HR. Tirmidzi)
Kasih Sayang yang Dibalut Keteladanan
Lihatlah bagaimana Rasulullah ﷺ menyikat sandalnya sendiri, membantu pekerjaan rumah, dan mendengarkan istrinya bercerita, meski beliau adalah pemimpin seluruh umat. Bahkan saat Aisyah ingin melihat pertunjukan dari balik tirai, Rasul tidak melarang—beliau hanya berdiri, menjadi sandaran, hingga Aisyah puas menyaksikan. Bukan hal besar, tapi itulah cinta dalam bentuk yang paling nyata: hadir sepenuhnya.
Sebuah rumah tangga bukan soal siapa lebih tinggi, tetapi siapa lebih tulus. Jika suami memberi cinta dan pengertian, istri akan memberikan seluruh dirinya. Ia akan menjadi tempat pulang yang tenang dan bahagia. Dan ketika dua hati itu sama-sama menuju Allah, maka rumah pun menjadi taman surga.
Cinta yang Menuju Langit
Wahai para suami, jika engkau ingin diluaskan rezekimu dan dipanjangkan umurmu, bahagiakanlah istrimu. Peluklah ia bukan karena kewajiban, tapi karena rasa syukur. Dengarkanlah ucapannya bukan karena terpaksa, tapi karena engkau ingin ia merasa berharga.
Dan wahai para istri, jika engkau ingin menjadi ratu di akhirat, jadilah penenang dalam badai. Jadilah suara lembut di tengah hiruk-pikuk dunia, dan jadilah doa yang menyelusup ke langit saat suami tertidur kelelahan.
Karena cinta dalam Islam bukan sekadar untuk dunia. Ia adalah perjalanan bersama, menapaki titian menuju surga.