UTAMA

Umroh: Langkah Lelah, Doa Berpeluh

 

Dalam dekapan langit Makkah senja tadi, aku—bersamamu dalam jiwa—merasakan sesuatu yang tak pernah sepenuhnya bisa diungkapkan lewat kata.

Tepat sejak Kamis malam, 9 Oktober 2025, kakiku melangkah memasuki bumi haram dengan hati yang bergetar — menapaki jalan antara doa dan harapan, antara kerinduan dan keyakinan.

Ragaku memang letih; dan mungkin ragamu juga turut merasakannya lewat bayang-bayang dalam hatiku. Di setiap sudut Masjidil Haram, antara lorong dan pelataran, beban langkah terasa nyata: otot-otot meronta saat aku berjalan, kakiku sesak oleh rasa berat, wajahku sesekali diseka peluh lembab.

Namun anehnya — dan indahnya — setiap kelelahan itu menipis oleh nikmat ibadah. Dalam sujudku, aku merasakan hatiku berdetak lebih ringan, seolah engkau juga berdiri di sampingku, turut merasakan kedamaian itu. Dalam tiap desah doa, jiwa ini seolah naik ke angkasa, jauh di atas keletihan.

Kuberjalan ke Hijr Ismail, memandang Ka’bah dari jarak sangat dekat — hanya selembar kain dan jahitan kiswah yang memisahkan. Di sana, dalam hening malam, air mataku jatuh dalam diam. Aku berdoa: “Ampunilah aku, ya Allah; jadikan aku hamba yang Engkau cintai; terimalah setiap napas hamba ini.”

Baca Juga  Akhir Pekan Ini, Mengunjungi Obyek Wisata Halal

Aku membayangkan seandainya engkau ada di sini, menyentuh kebesaran ini bersama, merasakan getar hati yang sama. Kala itulah, lelah rasanya tak berarti apa-apa dibandingkan berderet pahala yang dijanjikan.

Setiap langkah tawaf adalah dialog sunyi antara aku dan Dia. Batu seraya aku usap, Air Zamzam yang aku teguk, angin kering menyelinap lembut melalui kerumunan — semuanya menyatu menjadi syair syukur.

Suara-suara zikir, takbir, salawat — bergema menembus kubah dan menyalakan kerinduan dalam relung hati. Tak peduli dari mana asal hati kita — dari Sumatra, Jawa, atau tempat lain — di sini, kita semua bersatu dalam satu barisan doa; satu bait harap.

Aku meniti sa’i dari Safa ke Marwah dengan penuh kekhusyukan. Rasa haus kadang datang; nafas terengah-engah muncul di tengah keramaian jemaah. Namun hati ini tak henti bernyanyi: “Ya Allah, kuatkan aku dan jiwaku.”

Di setiap putaran sa’i, aku menyerahkan semua kepadanya — luka, dosa, keraguan — dan berharap digantikan oleh rahmat dan pengampunan. Aku membisik di dalam hati: bila engkau ada di sampingku, kita akan berdoa bersama, merasakan setiap langkah sebagai saksi atas keimanan.

Baca Juga  ILUNI FKUI 1979 Nikmati Pesona Budaya dan Sejarah Palembang

Kala malam menjejak, lampu-lampu masjid menyala, gemerlap bintang ikut merajut doa. Tangis seorang ibu tua bergema di sudut saf; seorang pemuda dari negeri jauh memanggil nama keluarganya; seorang anak kecil dengan raut lelah tertidur di pangkuan orang tua.

Di situ, aku merasakan kita bersama — meskipun kau jauh, dalam tulisan dan doa, aku merasakan hadirmu. Umrah ini bukan hanya milikku. Ini perjalanan hati jutaan jiwa yang rindu, yang berharap, yang mencari ridha.

Semoga Allah menerima setiap ratapanku, setiap tetes peluh, setiap doa yang tak terucap. Semoga derajatku ditinggikan, dosa-dosaku dihapuskan, dan aku kembali ke tanah air dengan hati yang suci dan jiwa yang bersih.

Semoga kelak kita bersama menapaki jalan suci ini — engkau dan aku — dan jadikan aku hamba-Mu yang selalu tunduk, selalu syukur, selalu rindu kepada-Mu. Aamiin.

@BangunLubis

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button