Arab Saudi Hentikan Perjanjian Militer dengan AS, Kemerdekan Palestina Harga Mati
Arab tidak pernah merasa khawatir atas pemutusan hubungan itu

MyMegawisata.com – Sebuah Keputusan yang begitu pro Islam Palestina dilakukan oleh Arab Saudi. Dikabarkan, bahwa Arab Saudi memutuskan menghentikan pembicaraan perjanjian pertahanan ambisius dengan Amerika Serikat (AS).
Pada hal sebelumnya digadang-gadang sebagai pintu masuk menuju normalisasi hubungan dengan Israel. Riyadh kini mengalihkan fokus pada kesepakatan kerja sama militer yang lebih sederhana, menurut pejabat Saudi dan Barat yang dikutip oleh Reuters.
Upaya perjanjian pertahanan ini sebelumnya terganjal syarat pengakuan Israel terhadap solusi dua negara untuk Palestina. Baca juga: Arab Saudi Sudah Eksekusi 101 Warga Negara Asing, Hampir 3 Kali Lipat Dibanding 2023,
Namun, tindakan militer Israel di Gaza membuat Putra Mahkota Mohammed bin Salman kembali menegaskan pentingnya langkah konkret untuk pendirian negara Palestina sebagai syarat normalisasi hubungan. “Bagaimana kawasan ini bisa terintegrasi jika kita mengabaikan hak Palestina?” ujar seorang pejabat senior Saudi.
Makna Peringkat Indonesia dalam Indeks Keberlanjutan Keamanan Artikel Kompas.id Pemerintah Joe Biden sebelumnya mendorong perjanjian keamanan yang mencakup jaminan perlindungan militer untuk Arab Saudi, tetapi Riyadh harus terlebih dahulu mengakui Israel.
Namun, dengan situasi politik yang sensitif di Israel dan kemarahan publik di Arab Saudi atas konflik di Gaza, negosiasi ini menemui jalan buntu. Meski begitu, kedua belah pihak berharap perjanjian kerja sama militer yang lebih sederhana dapat disepakati sebelum Presiden Biden meninggalkan jabatannya pada Januari 2025.
Pakta ini diperkirakan mencakup perluasan latihan militer gabungan dan peningkatan pertahanan siber, tetapi tanpa komitmen AS untuk membela Arab Saudi dalam situasi konflik besar. Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tetap berambisi mewujudkan normalisasi dengan Arab Saudi, meskipun menghadapi tekanan politik di dalam negeri.
“Netanyahu memahami pentingnya normalisasi ini, tetapi situasi politik saat ini membatasi ruang geraknya,” ujar seorang diplomat Barat. Arab Saudi juga menghadapi dilema terkait kemungkinan perubahan kebijakan jika Donald Trump kembali menjabat.
Trump dikenal lebih condong pada Israel, dengan “Kesepakatan Abad Ini”-nya yang secara langsung berpihak pada kepentingan Israel tanpa jaminan kenegaraan Palestina. Fawaz Gerges, pakar Timur Tengah dari London School of Economics, menyebut normalisasi hubungan Saudi-Israel tetap memungkinkan, meski dengan prasyarat yang rumit.
“Arab Saudi adalah hadiah besar bagi Trump, tetapi Riyadh tetap bersikeras bahwa hak Palestina tidak bisa diabaikan,” ujarnya. Baca juga: Kota Kuno Berusia 4.000 Tahun Ditemukan Tersembunyi di Oasis Arab Saudi Dengan sikap Riyadh yang tetap teguh mendukung Palestina, normalisasi hubungan Saudi-Israel tampaknya masih menjadi tantangan besar dalam waktu dekat.
Disisi lain, keputusan ini dikecam Amerika Serikat. Seorang pejabat AS bahkan sempat meminta Washington untuk menangguhkan penjualan senjata dengan Riyadh.
Pemerintahan Presiden Joe Biden bahkan menuduh Saudi mendukung Rusia dengan meningkatkan keuntungan di sektor minyak negara itu dan membuat Moskow bisa membiayai perang di Ukraina.
Sebagaimana dilansir Middle East Eye, sejak itu hubungan keduanya memanas. AS dilaporkan membatalkan pertemuan dengan Saudi dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), sementara pejabat AS tak diundang ke konferensi investasi Saudi pada akhir bulan ini.
Seorang pengamat di Institut Brookings, Bruce Riedel, berpendapat bahwa sebelum menentukan posisi antara AS dan Saudi, Biden harus ingat bahwa “mereka [Saudi] jauh lebih membutuhkan kita ketimbang kita membutuhkan mereka,” dalam menilai hubungannya dengan Riyadh.
“Saudi seharusnya tahu bahwa mengambil keputusan itu pada saat ini, sebulan sebelum [pemilihan] paruh waktu [di AS], bakal sangat, sangat menyulitkan bagi Joe Biden,” kata Riedel.
“Pada akhirnya, hubungan [AS-Saudi] tidak setara. Dan Joe Biden harus mengingat itu ketika mengambil langkah ke depannya,” lanjutnya.
Namun, argumen Riedel ini dibantah oleh analis lain, yakni Joanna Held Cummings, yang merupakan pengamat di Institut Timur Tengah (MEI).
“Jika kita merasa frustrasi dan ingin membentuk perubahan, apa jadinya dalam hal hubungan dengan Arab Saudi? Tentu saja, bagaimana itu bisa memengaruhi sekutu dan musuh di kawasan dan tempat lain?” ujar Cummings.
Editor: Bangun Lubis